Sejarah Daerah

BANDUNG LAUTAN API

Pasukan sekutu Inggris memasuki kota Bandung sejak pertengahan Oktober 1945. Menjelang November 1945, pasukan NICA melakukan aksi terror di Bandung. Masuknya tentara sekutu dimanfaatkan NICA untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia. Namun semangat juang rakyat dan para pemuda di Bandung tetap berkobar. Pertempuran besar dan kecil berlangsung terus di kota Bandung untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia yang baru didirikan.
Bandung Lautan Api
Untuk meredakan ketegangan diadakan perundingan antara pihak RI dengan sekutu/NICA. Akhirnya Bandung dibagi menjadi dua bagian. Pasukan sekutu menduduki wilayah Bandung bagian utara, sedangkan Indonesia memperoleh bagian selatan. Dalam situasi yang memanas tersebut, bendungan sungai Cikapundang jebol dan menyebabkan banjir besar dalam kota.
Meskipun pihak Indonesia telah mengosongkan Bandung bagian utara, tapi sekutu menuntut pengosongan sejauh 11 km. Hal itu menyebabkan rakyat Bandung marah. Mereka kemudian melakukan aksi pertempuran dengan membumihanguskan segenap penjuru Bandung selatan. Bandung terbakar hebat dari batas timur Cicadas sampai batas barat Andir. Satu jiwa penduduknya mengungsi ke luar kota pada tanggal 23 dan 24 Maret 1946. Meninggalkan Bandung yang telah menjadi lautan api.
Semetara itu benteng NICA di Dayeuh Kolot, Bandung Selatan dikepung oleh para pejuang Bandung. Kemudian muncul pemuda bernama Muhammad Toha yang berjibaku untuk menghacurkan gudang mesiu dengan membawa alat peledak. Gudang mesiu milik NICA itu hancur dan Toha gugur dalam menunaikan tugasnya. Peristiwa itu difilmkan dengan judul Toha Pahlawan Bandung Selatan.


PERTEMPURAN AMBARAWA


Pertempuran di Ambarawa terjadi pada tanggal 20 November 1945 dan berakhir pada tanggal 15 Desember 1945. Pertempuran itu terjadi antara pasukan TKR bersama rakyat Indonesia melawan pasukkan sekutu Inggris.
Sejarah Pertempuran Ambarawa – Magelang
Peristiwa itu berlatar belakang insiden di Magelang sesudah mendaratnya Brigade Artileri dari divisi India ke-23 di Semarang pada atanggal 20 Oktober 1945. Pihak Republik Indonesia memperkenankan mereka masuk ke wilayah RI untuk mengurus masalah tawanan perang bangsa Belanda yang berada di penjara Ambarwa dan Magelang. Akan tetapi kedatangan pasukan sekutu Inggris diikuti oleh orang-orang NICA yang kemudian mempersenjatai bekas tawanan itu. Pada tanggal 26 Oktober 1945 terjadi insiden di kota Magelang yang berkembang menjadi pertempuran pasukan TKR dengan pasukan gabungan sekutu Inggris dan NICA. Insiden itu berhenti setelah presiden Soekarno dan Brigadir Jendral Bethell datang ke Magelang tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan gencatan senjata dan memperoleh kata sepakat yang dituangkan dalam 12 pasal. Naskah persetujuan itu diantaranya berisi:
  1. Pihak sekutu tetap akan menempatkan pasukannya di Magelang untuk melindungi dan mengurus evakuasi APWI (Allied Prisoners War And Interneers atau tawanan perang dan interniran sekutu). Jumlah pasukan sekutu dibatasi sesuai dengan keperluan itu.
  2. Jalan Ambarawa – Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia – Sekutu
  3. Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawahnya.

Pihak sekutu ternyata mengingkari janjinya. Pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Sumarto dan tentara Sekutu. Pada tanggal 21 November 1945, pasukan sekutu yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa. Namun, tanggal 22 November 1945 pertempuran berkobar didalam kota dan pasukan sekutu melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung yang berada di sekitar Ambarawa.
Pasukan TKR bersama dengan pasukan pemuda dari Boyolali, Salatiga, Kartsura bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis medan sepanjang rel kereta api dan membelah kota Ambarawa. Sementara itu, dari arah Magelang pasukan TKR dari divisi V/Purwokerto dibawah pimpinan Imam Androngi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945 dan berhasil menduduki desa Pingit dan merebut desa-desa sekitarnya yang sebelumnya diduduki sekutu.
Sejarah Pertempuran Ambarawa – Magelang
Batalyon Imam Androngi meneruskan gerakan pengejarannya disusul 3 batalyon dari Yogyakarta, yaitu Batalyon 10 Divisi III dibawah pimpinan mayor Soeharto, Batalyon 8 dibawah pimpinan Mayor Sardjono dan Batalyon Sugeng. Musuh akhirnya terkepung. Walaupun demikian, pasukan musuh mencoba mematahkan pengepungan dengan mengancam kedudukan pasukan dari belakang dengan tank-tanknya. Untuk menghindari jatuhnya korban, pasukan mundur ke Bendano. Dengan bantuan resimen kedua yang dipimpin oleh M Sarbini, Batalyon dari Yogyakarta, gerakan musuh berhasil ditahan di desa Jambu.
Para komandan pasukan kemudian mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar. Rapat itu menghasilkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran dan bertempat di Magelang. Sejak saat itu, Ambarawa dibagi atas empat sektor, yaitu sektor utara, sektor selatan, sektor barat, dan sektor timur. Pada tanggal 26 November 1945, pimpinan pasukan TKR dari Purwokerto yaitu Letnan Kolonel Isdimin gugur dan digantikan oleh Kolonel Soedirman. Situasi pertempuran menguntungkan pasukan TKR. Pasukan sekutu Inggris terusir dari Banyubiru pada tanggal 5 Desember 1945, yang merupakan garis pertahanan terdepan. 
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengambil prakarsa untuk mengumpulkan masing-masing komandan sektor. Akhirnya colonel Soedirman mengambil suatu kesimpulan bahwa pasukan musuh telah terjepit dan untuk itu perlu dilaksanakan serangan terakhir. Serangan direncanakan pada tanggal 12 Desember 1945 pukul 04.30 dipimpin oleh masing-masing komandan yang akan melakukan serangan secara mendadak dari semua sektor. Adapun keberadaan badan-badan perjuangan dapat menjadi tenaga cadangan.
Pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari, pasukan TKR bergerak menuju sasaran masing-masing. Dalam waktu setngah jam pasukan TKR berhasil mengepung musuh didalam kota. Pertahanan musuh yang terkuat diperkirakan berada di Benteng Willem yang terletak di tengah-tengah kota Ambawara. Kota Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam. Pada tanggal 15 Desember 1945, musuh meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang. Pertempuran di Ambarawa ini mempunyai arti penting karena letaknya yang sangat strategis. Apabila musuh menguasai Ambarawa mereka dapat mengancam tiga kota utama di Jawa Tengah yaitu Surakarta, Magelang, dan terutama Yogyakarta yang menjadi pusat kedudukan markas tertinggi TKR.

PERTEMPURAN MARGARANA


Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1946, lebih kurang 2000 tentara Belanda mendarat di pulau Bali. Diikuti oleh tokoh-tokoh yang Pro terhadap Belanda. Ketika Belanda mendarat di Pulau Bali , pimpinan laskar Bali, Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai, sedang menghadap ke markas tertinggi TKR di Yogyakarta.
Sejarah Pertempuran Margarana (20 November 1946)
Ketika kembali dari Yogyakarta I Gusti Ngurah Rai menemukan pasukannya porak poranda akibat serangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda. I Gusti Ngurah Rai terus berusha untuk mempersatukan kembali pasukannya, sementara Belanda terus membujuk Ngurah Rai agar mau bekerja sama dengan pihak Belanda. Namun ajakan itu ditolaknya. Penolakan itu terlihat dari surat balasannya kepada Belanda. Ngurah Rai menyatakan bahwa “Bali bukan tempat ntuk perundingan dan perundingan merupakan hak dari pemimpin kami di pusat”. Disamping itu, Ngurah Rai juga menyatakan bahwa “Pulau Bali bergejolak karena kedatangan Pasukan Belanda. Apabila menginginkan Bali tetap aman dan damai, Belanda harus angkat kaki dari Pulau Bali”
Setelah berhasil menghimpun dan mempersatukan kembali pasukannya, pada tanggal 18 November 1946, Ngurah Rai bersama pasukannya melakukan serangan terhadap markas Belanda yang ada di kota Tabanan. Dalam peperangan itu pasukan Ngurah Rai mengalami kemenangan. Setelah kemenangan itu, Pasukan Ngurah Rai mundur kea rah utara dan memusatkan markas perjuangannya di desa Margarana.
Oleh karena mengalami kekalahan pada tanggal 20 November 1946 Belanda mengerahlkan seluruh kekuatannya yanga da di pualu Bali dan Lombok untuk mengepung Bali. Dareh Margarana diserang dengan tiba-tiba sehingga terjadi pertempuran sengit. Dalam pertempuran itu, Ngurah Rai menyerukan perang puputan (perang habis-habisan). I Gusti Ngurah Rai beserta pasukannya gugur dalam perang itu. Perang itu lebih dikenal dengan perang puputan Margarana. Setiap tahun yaitu pada tanggal 20 November , selalu diperingati sebagai Hari Pahlawan Margarana oleh rakyat Bali.

No comments:

Post a Comment